Opini : Rioberto Sidauruk : Jaga Jakarta, Menemukan Kembali DNA Gotong Royong Kota Kita

banner 468x60

Jaga Jakarta, Menemukan Kembali DNA Gotong Royong Kota Kita

Oleh: Rioberto Sidauruk, Warga Jakarta

Sejak pekan lalu, Jakarta kembali menjadi sorotan. Bukan lagi tentang kemacetan atau megaproyek, melainkan tentang jejak-jejak kericuhan yang menyisakan kerusakan.

Halte Transjakarta hangus, jalanan dipenuhi puing, dan yang lebih parah, rasa aman warga tercabik. Tiba-tiba, kota yang biasanya hiruk-pikuk dengan aktivitas ekonomi terpaksa menunda napasnya.

Sekolah diliburkan, perkantoran membatasi gerak, dan kekhawatiran merayap di benak setiap warga.

Ini bukan lagi soal perbedaan pendapat, melainkan tentang hilangnya akal sehat yang merusak sendi-sendi kehidupan kota.

Namun, di tengah puing-puing itu, sebuah gerakan spontan muncul, bagai oase di padang tandus. Gerakan ini bukan datang dari instruksi formal, melainkan dari inisiatif akar rumput yang digerakkan oleh satu tekad: memulihkan Jakarta.

Warga mulai turun ke jalan, membersihkan sampah, memperbaiki kerusakan, dan memasang spanduk-spanduk perdamaian.

Gerakan yang diberi nama “Jaga Jakarta” ini dengan cepat menyebar, bukan hanya di media sosial, tapi juga di gang-gang sempit, di kelurahan, hingga di tingkat RT/RW.

Gubernur DKI Jakarta, Pramono Anung, melihat gerakan ini sebagai sebuah harapan. Ia mengatakan bahwa gerakan ini berhasil meyakinkan publik bahwa Jakarta perlahan pulih dan berangsur normal.

Ucapan itu bukan tanpa alasan; ia melihat adanya mobilisasi sosial yang masif dan terstruktur, di mana warga dan tokoh masyarakat bahu-membahu untuk menyuarakan pesan perdamaian.
Sebuah momentum langka yang harus kita renungkan, sebuah tanda bahwa di balik hiruk-pikuk metropolitan, DNA gotong royong masih mengalir deras.

Jejak Digital dan Aksi Kolektif
Dalam era disrupsi informasi, aksi kolektif seringkali disalahgunakan untuk menyebarkan kebencian dan hoaks.

Kericuhan yang terjadi seringkali dipicu oleh narasi provokatif yang bertebaran di media sosial.

Hoaks yang menyulut emosi, narasi yang memecah belah, dan hasutan untuk bertindak anarkis.

Namun, gerakan “Jaga Jakarta” membuktikan bahwa teknologi juga bisa digunakan untuk tujuan yang konstruktif.

Tagar-tagar positif, ajakan untuk membersihkan jalan, dan video-video yang menampilkan aksi gotong royong menjadi viral.

Ini menunjukkan bahwa media sosial, yang seringkali dianggap sebagai sumber masalah, dapat menjadi alat ampuh untuk menyebarkan optimisme dan mengajak publik untuk berpartisipasi dalam kebaikan.

Secara komunikasi massa, fenomena ini dapat dipahami melalui Teori Agenda Setting yang diperkenalkan oleh Maxwell McCombs dan Donald Shaw dalam studi mereka tentang pemilihan presiden Amerika Serikat pada tahun 1968.

Menurut teori ini, media memiliki kemampuan untuk menentukan isu-isu apa yang dianggap penting oleh publik.

Dalam studi kasus, media membantu menggeser agenda publik dari fokus pada “kerusuhan” menjadi “pemulihan” dan “gotong royong”.

Sementara itu, Teori Framing yang dikembangkan oleh Erving Goffman menjelaskan bagaimana media membingkai sebuah isu untuk memengaruhi cara audiens memahaminya.

Jika media massa dan media sosial terus-menerus membingkai Jakarta sebagai kota yang rusuh dan tidak aman, maka narasi itulah yang akan melekat di benak masyarakat.

Sebaliknya, “Jaga Jakarta” berhasil menciptakan bingkai baru: Jakarta adalah kota yang tangguh, warganya solid, dan masalah dapat diselesaikan dengan kolaborasi, bukan dengan kekerasan.

Menuju Ketahanan Sosial Jakarta
Apa yang bisa kita petik dari “Jaga Jakarta”? Lebih dari sekadar perbaikan fisik, ini adalah tentang pemulihan ketahanan sosial.

Sosiolog klasik, Émile Durkheim, dalam bukunya The Division of Labor in Society, menyoroti pentingnya solidaritas sosial untuk menjaga stabilitas masyarakat.

Kericuhan yang terjadi adalah cerminan dari menurunnya solidaritas, di mana ego dan kepentingan kelompok lebih diutamakan daripada kepentingan bersama.

Gerakan “Jaga Jakarta” adalah upaya kolektif untuk membangun kembali fondasi solidaritas tersebut, yang menurut Durkheim, diperlukan agar masyarakat bisa berfungsi dan mengingatkan kita bahwa Jakarta bukan hanya milik pemerintah atau segelintir elite, melainkan milik kita semua.

Gerakan ini juga menggarisbawahi pentingnya peran tokoh lokal dan pemimpin akar rumput. Di tengah disinformasi yang merajalela, suara-suara dari orang-orang yang dipercaya di komunitas menjadi sangat krusial.

Mereka adalah jembatan yang menghubungkan pesan perdamaian dari pemerintah ke masyarakat luas, memastikan pesan tersebut tidak hanya dipahami, tetapi juga dilaksanakan.

Jika gerakan ini terus digalakkan dan menjadi bagian dari budaya kota, maka Jakarta akan memiliki benteng pertahanan sosial yang lebih kuat di masa depan.

Kita tidak lagi hanya mengandalkan aparat keamanan, melainkan mengandalkan kesadaran dan kepedulian setiap individu.

Jadi, “Jaga Jakarta” bukanlah sekadar jargon, melainkan sebuah aksi nyata yang membuktikan bahwa setiap masalah sosial dapat diselesaikan dengan kolaborasi, dialog, dan yang terpenting, gotong royong.

Ini adalah sebuah pengingat bahwa di balik segala perbedaan, kita semua memiliki satu rumah yang harus dijaga bersama.

Masa depan Jakarta, sebuah kota yang rentan terhadap kericuhan, kini berada di tangan warganya. Sudah saatnya kita tidak hanya menjadi penonton, tetapi menjadi bagian dari solusi.*

banner 300x250

Related posts

banner 468x60

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *